Selasa, 16 Juli 2019



KALIAN MATAHARIKU
Minggu pertama disekolah baru, teman baru dengan suasana baru. Tugas bahasa daerah sudah menungguku hari ini, guru bahasa daerah yang terlihat sangat lembutpun ternyata memiliki sifat displin yang luar biasa. Bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas diberi hukuman untuk mengerjakannya kembali dengan jumlah berlipat ganda. Tidak lama kemudian bel istirahat berbunyi, semuanya keluar kelas menuju kantin kecuali aku dan dua siswa yang sedang sibuk dengan bukunya. Akupun menghampiri mereka, ternyata mereka sedang mengerjakan tugas hukuman dari guru bahasa daerah tadi, aku yang begitu menguasai bahasa daerah membantu mereka menyelesaikannya. Dari situ perkenalan dimulai. Mulai saat itu juga kami menjadi seorang teman.
“Semua orang dikelas ini sedang berlomba-lomba mencari teman.’’ Kata Nadia.
“Masaksih?” Kataku.
“Iyalah udah biasa kali hal kayak gitu terjadi, aku baru satu minggu sekolah disini tapi rasanya udah nggak betah.” Kata Nadia dengan nada tinggi.
“Sama, aku juga udah nggak  betah.”Kataku lagi.
Kemudian Ulfa yang sangat bijaksanapun ikut berbicara.
“Mungkin kita belum bisa beradapatasi dengan lingkungan, semua kan juga butuh waktu.”
Aku dan Nadia pun hanya tertawa mendengar perkataan Ulfa.
***
Keesokan harinya saat kami sedang duduk didepan kelas Nadia bicara padaku dan Ulfa.
“Eh tadi malam aku buat ini loh, S.U.N, Sindi, Ulfa, dan Nadia.” Sambil memperlihatkan hp nya.
“Sun itu artinya matahari, jadi harapan aku persahabatan kita seperti matahari yang selalu bersinar. Kita harus saling berjanji bahwa kita tidak akan lupa dengan persahabatan ini meskipun suatu saat nanti kita akan saling pergi untuk urusan masing-masing.” Imbuhnya lagi.
Mulai saat itulah persahabatan kami menjadi semakin dekat.
***
Pernah suatu saat di laboratorium komputer, saat itu kami bertiga duduk berdekatan, kami selalu merasa kesulitan pada saat melaksankan praktik, karena kami hanya siswa dengan kecerdasan yang pas-pasan. Tapi kami tidak pernah minder, kami selalu ingin membuktikan bahwa kami juga bisa. Meskipun belum begitu mahir kami tetap merasa bahagia dan tidak merasa rendah diri. Bahkan kami menyisipkan gurauan-gurauan kecil yang selalu membuat kami tertawa. Untuk sebentar menghilangkan rasa pusing.
“Kalian tau nggak si, suatu saat nanti kita pasti akan rindu dengan suasana ini.” Kata Ulfa yang membuat kami berhenti tertawa.
“Dan kalian malu nggak sih, betapa bodohnya kita yang selalu tidak bisa dalam materi praktik, kita juga pasti akan ingat itu suatu saat nanti.” Kata Nadia.
Kemudian kamipun tertawa lagi seperti tidak ada beban. Kami selalu bercerita tentang hal-hal  yang tidak masuk akal, tetapi itulah yang membuat kami semakin dekat. Kami juga sering melakukan hal-hal konyol yang kadang tidak disukai oleh teman yang lain, tapi kami tidak memperdulikan itu.
***
Hari itu hari Sabtu, aku berangkat dengan semangat dan tidak sabar ingin bercerita banyak hal pada Ulfa dan Nadia. Pagi itu aku melihat Nadia sedang duduk sendirian didalam kelas, saat itu suasana kelas masih sepi. Aku menghampiri Nadia dan mencoba untuk bertanya, tapi Nadia malah menghindar keluar kelas, aku mengejarnya, tapi dia malah marah. Aku menjadi semakin bingung dengan Nadia yang tiba-tiba bersikap seperti itu. Ketika Ulfa berangkat, aku bertanya padanya.
“Ul, Nadia kenapa ya, kok ngejauh gitu si sama aku.”
“Nggak tau.” Jawab Ulfa, nampak tak memperdulikan pertanyaanku.
Mulai saat itu entah apa yang terjadi pada Ulfa dan Nadia, tiba tiba mereka menjauhiku. Ditambah lagi dengan ucapan-ucapan mereka yang membuatku semakin bertanya-tanya.
“Eh Ul, lihat deh dia udah dapat teman baru tuh. Maklumlah dia kan mainnya sama anak-anak yang terkenal, kita kan cuma anak biasa, ya nggak level lah sama dia.” Kata Nadia, saat aku habis dari kantin sama Arin.
“Iya, mungkin dia udah lupa sama kita, sekarang namanya udah nggak S.U.N lagi, tapi U sama N doang, soalnya U nya kan udah pergi.” Jawab Ulfa dengan sinis.
Aku hanya diam, aku tidak mau melawan perkataan mereka, karena jika aku melawan pasti masalah ini akan semakin besar. Hampir satu bulan aku dijauhin, rasanya sudah kangen sekali kumpul bareng, ketawa bareng, sempat cemburu juga sama kebersamaan mereka, sempat mau nangis juga aku di jauhin tanpa sebab.
***
16 September 2015, “Sindi.” Panggil Ulfa. Saat itu aku merasa senang Ulfa memanggil namaku.
“Kamu mau langsung pulang.”? Tanya dia.
“Iya.” Jawabku.
“Kamu tungguin aku ya sebentar, kita pulang bareng.” Kata Ulfa.
“Oh iya.”
Pembicaraan singkat itu membuat hatiku sedikit lega, meskipun pembicaraan itu tidak berlangsung seakrab satu bulan yang lalu sebelum kejadian yang tidak aku inginkan itu terjadi.
Aku disuruh nungguin Ulfa didepan kelas, tapi dia malah ninggalin aku sendirian, katanya mau cari temennya dulu sebentar, tapi sudah hampir setengah jam dia tidak kembali. Dan tiba-tiba suara nyanyian selamat ulang tahun aku dengar dari arah belakang, Ternyata Ulfa dan Nadia, mereka membawa kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang bertuliskan angka 16. Mereka berdua tersenyum padaku, aku tidak tahu, apakah aku harus ikut teresnyum ataukah aku harus menangis.
“Jadi ini kejutannya?. Setelah satu bulan kalian tidak mau bicara padaku?.” Tanyaku. “Sudah, yang penting sekarang kau potong kuenya.” Kata Nadia.
Tapi ketika aku sedang memotong kue tersebut, Nadia dan Ulfa mengoleskan kue itu ke seluruh wajah dan pakaianku sampai terlihat sangat kotor, akupun tidak tinggal diam, alhasil kue itu tidak termakan tetapi hanya terbuang sia sia. Kami tertawa sangat lepas saat itu dan melepas kerinduan setelah satu bulan tidak bersam sama.
“Selamat ulang tahun Sindi, maaaf ya buat yang kemarin-kemarin.” Ucap Nadia.
“Selamat ulang tahun Sindi, maaf ya kalau aku terlalu kasar sama kamu, tenang aja itu semua hanya sandiwara kok.” Ucap Ulfa sambil tersenyum.
“Terimakasih kalian, aku bahagia punya kalian, kalian sahabatku, kalian matahariku.”

















ADA NAMA DIHATIKU
Ketika kita mencintai seseorang yang cintanya telah termiliki, bukanlah hal yang mudah. Dan satu-satunya cara hanyalah mencintainya secara diam diam. Namun ketika penantian berujung kebahagiaan, semua terasa lebih indah. Menggeletar sepanjang waktu.
Gemerlap lampu dan suara petasan yang bergema, ditambah iringan musik rebana yang mengiri arak-arakan wisudawan-wisudawati  Madrasah Diniyah Awaliyah di desa dekat pantai itu terasa sangat meriah.
“Han kamu kenal nggak sama Fahmi.?”
“Siapa? Aku nggak kenal.”
“Masak sih Han, padahal rumahnya nggak begitu jauh dari rumah kamu.”
“Aku nggak kenal Nawa.” Jawab Hana sambil mempertegas.
Tiba-tiba Nawa mengagetkan Hana  yang sedang menikmati malam bahagianya itu.
“Eh Han, Han itu yang namanya Fahmi.” Sambil mengarahkan matanya kepada seorang pria yang berdiri tepat di depannya.
“Oh, si juru kamera itukah? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya.’’ Jawab Hana dengan sedikit tidak mempedulikan.
Kilat-kilat cahaya dari kamera yg dibawa Fahmi tersebut nampaknya membuat Hana terganggu, apalagi tingkah Fahmi yang mengambil gambar secara diam-diam. Membuat Hana  kembali melihat Fahmi dari kejauhan, tatapan mata Hana sinis namun penuh tanya, ia memperhatikan Fahmi  tanpa mengalihkan pandangannya kepada siapapun, Hana mulai tergoda dengan senyum simpul Fahmi, Ia mulai merasakan getaran yang tak biasa pada hatinya. Tapi Hana tak mempedulikan perasaan aneh itu.
Hari-hari setelah wisuda Hana jadi sering melihat Fahmi, Hana pun semakin penasaran dengan Fahmi. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Tanpa disengaja, pada suatu ketika Hana masuk kedalam Organisasi desa yang biasa disebut dengan KarangTaruna. Di Karang Taruna Hana kembali melihat Fahmi sebagai seorang pemimpin di organisasi tersebut.
“Sungguh kebetulan yang tidak terduga.” Ucap Hana dalam hati.
Dari situlah perkenalan dimulai, Hana dan Fahmi saling berjabat tangan untuk menambah keakraban,  Hana kembali merasakan getaran yang tak biasa, mulai saat itulah Hana merasakan ada yang aneh pada hatinya dan Hana jatuh cinta untuk yang pertama kalinya pada seorang pria shaleh yang usianya lebih tua 5 tahun dari usianya. Awalnya dia ragu, dengan cintanya kepada seseorang yang lebih pantas untuk menjadi kakaknya itu.
Satu kali dalam seminggu mereka selalu bertemu untuk mengadakan acara rutinan Karang Taruna. Pada setiap sambutan oleh pimpinan, Hana selalu mendengarkannya dengan seksama apa yang tengah dibicarakan Fahmi, karena saat itulah Hana merasa sangat bahagia saat mendengar suara Fahmi. Tapi anehnya Hana dan Fahmi tidak seakrab teman-teman yang lain, mereka hanya saling tatap tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Terkadang Hana pun merasa sangat malu ketika dia ketahuan Fahmi bahwa dia sedang memperhatikannya, maka secepatnya Hana memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan segala cinta yang ada di matanya itu.
Sudah beberapa bulan  Hana bergabung dalam anggota Karang Taruna, kebetulan Organisasi tersebut hendak mengikuti lomba antar organisasi desa yang diadakan oleh pihak daerah. Pada saat itu Fahmi sebagai seorang pemimpin menunjuk Hana untuk mewakili lomba lari. Tentu saja Hana tidak akan menolaknya, dia merasa sangat senang. Itu juga membuat Hana dan Fahmi menjadi semakin dekat. Tapi ditengah-tengah kedekatan mereka, ada hal yang membuat Hana merasa begitu sedih, Hana baru mengetahui kalau selama ini Fahmi sudah memiliki pujaan hati, dan satu hal lagi yang membuat Hana sangat sedih adalah ketika dia mengetahui bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang sama. Maka setiap Nawa bercerita banyak hal tentang Fahmi, Hana hanya bisa diam dan menahan cemburu, dia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengakui bahwa ia mencintai Fahmi.
Semua itu tidak menyurutkan rasa cinta Hana pada Fahmi. Hari perlombaan telah tiba, maka Hana berfikir inilah saatnya membuktikan siapa dia sebenarnya, Hana ingin Fahmi mengerti banyak hal tentang dia seperti Hana mengerti banayak hal tentang Fahmi. Namun apa yang terjadi, kebohongan besar pun terungkap. Disaat Hana sudah benar-benar siap, saat lomba itu hampir dimulai, Fahmi menggantikan posisi Hana dengan orang lain tanpa alasan dan tanpa sepengetahuan Hana. Sedang Hana saat itu sangat kecewa dengan sikap Fahmi, Hana berusaha untuk menahan sedihnya, namun air mata terus saja keluar dari kedua bola matanya yang indah itu, Fahmi melihat Hana menangis, dan dia juga tahu bahwa saat itu Hana benar-benar terluka, namun Fahmi hanya menoleh sekejap lalu meninggalkan Hana. Setelah kejadian itu rasa suka yang Hana miliki, berubah menjadi rasa benci. Dan sayangnya rasa benci itu hilang begitu saja ketika Hana mendapat sapa dan senyuman Fahmi ketika mereka saling bertemu.
Dua tahun telah berlalu, dan rasa cinta itu masih bersemayam anggun dihati Hana, Hana tidak bisa berbuat apa-apa dengan perasaan yang tak pernah ia inginkan sebelumnya, lomba antara organisasi yang setiap dua tahun sekali dilaksanakan itu pun kembali diadakan, dan Fahmi kembali menunjuk Hana untuk mewakili lomba lari tanpa rasa bersalah sedikitpun, Hana tidak bisa berkata apa-apa, mulutnya membisu, dan dia hanya mengangguk  kembali menerima tawaran Fahmi untuk mengikuti lomba lari.
Hingga pada saatnya tiba.
Fahmi : “Apa kamu sudah siap.?”
Hana : (hanya terdiam).
Fahmi : “Aku bertanya padamu Hana, kenapa kau hanya diam, aku ingin mendengar suaramu.”
Hana : “Aku mengundurkan diri.”
Fahmi : “Tapi kenapa.?”
Hana : “Tanyakan saja pada dirimu.”
Fahmi : “Ayolah Hana, berlatihlah untuk bertanggung jawab dan menepati janjimu, lomba akan dimulai sebentar lagi dan kamu satu-satunya harapan kami.”
Hana : “Sepertinya kamu lupa dengan kejadian dua tahun yang lalu, kamu cari saja penggantiku semudah seperti saat kamu menyingkirkanku.”
Fahmi : “Aku tahu aku memang salah, tolong maafkan aku.”
Hana : “Semudah itukah kamu meminta maaf.? Seperti saat kamu meninggalkan aku begitu saja setelah kamu melukai persaanku, aku tidak pernah menunggu permintaan maafmu.”
Fahmi : ”Baiklah, aku harap aku tidak bertemu lagi dengan seorang pendendam sepertimu.”
Fahmi meninggalkan Hana begitu saja, sedangkan Hana merasa bimbang, mengapa malah Fahmi yang marah padanya, hatinya semakin tak tenang ketika melihat Fahmi begitu membencinya.
Hana pun berteriak pada Fahmi, “Ternyata aku salah jika aku tidak bisa membencimu. Kau pantas untuk dibenci.”
Setelah kejadian itu, Hana tidak pernah melihat Fahmi lagi, Fahmi menghilang begitu saja dari hidupnya tapi tidak dari hatinya, hatinya masih hanya untuk Fahmi. Dia merasa sangat kehilangan Fahmi, setiap hari dia merindukan Fahmi, menunggu cintanya yang tak kunjung datang. Satu tahun berlalu begitu cepat, tapi menunggu bukanlah hal yang mudah.
Diujung malam yang terang bulan, saat itu Hana tengah menghadiri acara pernikahan Nawa, dia melihat kehadiran Fahmi ditengah-tengah keramaian tersebut bersama seorang wanita. Hana tertegun melihatnya, setelah sekian lama tidak melihat pria pujaannya itu, akan tetapi dia terbakar oleh api cemburu yang membuat hatinya hancur berkeping-keeping saat melihat Fahmi tidak berjalan sendiri di ujung sana. Hana memilih tempat yang sepi, dia menyendiri, duduk di keheningan tanpa satu orangpun yang tahu akan kesedihannya, ia tertunduk sambil meneteskan air matanya.
Tiba- tiba seorang pria datang dan duduk di sampingnya.
Fahmi : “Kenapa kamu menangis.?”
Hana : “Terakhir kali aku dengar kamu berharap tidak bertemu lagi dengan soeorang pendendam sepertiku, lalu untuk apa kamu kemari.?”
Fahmi : “Aku kemari untuk mempertanyakan hatimu.”
Hana : “Tidak ada yang perlu ditanyakan.”
Fahmi : “Aku hanya ingin bertanya, apakah di hatimu itu masih tersimpan nama yang sama, seperti saat kau jatuh cinta untuk pertama kalinya.?”
Hana : “Apa yang kamu bicarakan.?”
Fahmi : “Aku tahu bahwa kamu menyukaiku selama ini, semua itu nampak jelas dari matamu, pesan singkat rahasia, penelpon tidak dikenal, itu semua darimu kan.?”
Hana : “Bagaimana mungkin.? Aku memang sudah yakin dari awal bahwa kamu telah mengetahui segalanya, tapi bukan ini yang aku inginkan, lagi pula itu sudah empat tahun yang lalu.”
Fahmi : “Semua memang berlalu begitu saja, dan aku juga tahu empat tahun tidaklah sebentar, jadi bisa saja perasaan itu hilang dimakan waktu. Itukah yang kamu maksud.?”
Hana : “Kamu tidak akan pernah tahu apa yang ada didalam hatiku, jadi kamu jangan pernah membuat kesimpulan dari logikamu.”
Fahmi : “Kalau memang kamu tidak mencintaiku lagi, coba katakan bahwa kamu membenciku.”
Hana: “Aku membencimu.” Kata Hana dengan cepat sambil memalingkan wajahnya.
Fahmi : “Berbohong saja kamu belum benar, cobalah katakan satu kali lagi bahwa kamu membenciku, dan tatap mataku.”
Hana tertegun mendengar perkataan Fahmi, tidak mudah baginya untuk menatap mata Fahmi yang begitu damai ketika ia memandanginya. Hana pun semakin kesal dan bertanya-tanya sebenarnya apa maksud Fahmi bicara seperti itu padanya. Dan akhirnya Hana memberanikan diri untuk berkata pada Fahmi bahwa dia membencinya untuk menutupi segala kebohongannya.
Hana : “Aku membencimu” (Sambil menatap mata Fahmi).
Fahmi : “Kamu memang pemberani, oh iya. Kamu percaya pada jodoh.?”
Hana : “Iya, setiap orang mempunyai jodohnya masing-masing. Itu yang sering aku dengar.”
Fahmi : “Iya itu memang benar, pernikahan Nawa dan Najha ini terjadi karena mereka juga berjodoh bukan. Entah selama ini aku memang benar-benar buta atau sengaja menutup mataku sehingga aku tidak dapat melihat cinta yang sebesar itu. Aku yakin bahwa wanita yang aku sukai itu adalah jodohku dan aku berharap kamu mau datang di acara pernikahanku nanti dengan wajah berseri-seri.”
Hana hanya terdiam. “Inikah akhir dari penantianku yang berujung sia-sia.?” Ucapnya dalam hati.
Fahmi pergi meninggalkan Hana, dengan berharap Hana menanyakan siapa wanita yang menjadi jodohnya itu, karena apa yang diucapakan Fahmi tadi sebenarnya untuk Hana.
Hana : “Fahmi.” Teriak Hana yang menghentikan langkah Fahmi, dan itulah saat pertama dia memanggil nama pria pujaan hatinya, selama bertahun-tahun, dia memberanikan diri untuk hal ini.
Hana : “Kalau boleh tahu, siapa seseorang yang ada dihatimu itu.?”
Fahmi : “Dia adalah wanita yang sedang dihadapanku, tapi sayangnya dia begitu membenciku.”
Hana terdiam, dan dia tidak menulikan telinganya untuk mendengar perkataan indah yang selama ini dia tunggu bahkan hanya ada di angan.
Fahmi : “Kenapa diam.? Kamu selalu memalingkan wajahmu ketika bicara padaku.”
Hana : “Kuharap kamu tidak berbohong kali ini.”
Fahmi : “Tapi kamu saja berbohong padaku, kamu bilang kamu menbenciku bukan.? Kukira aku sudah terlambat untuk mencintaimu.”
Hana : “Selalu ada hal yang membuatku semakin sulit untuk melupakanmu, selalu ada hal yang membuatku semakin jatuh cinta padamu. Dan aku benci itu. Aku membencimu dengan cintaku.”
Empat tahun lalu Hana bukan siapa-siapa bagi Fahmi, orang bilang menunggu seseorang yang jelas-jelas kita tahu bahwa dia tidak mungkin datang dihidup kita adalah hal yang bodoh. Semua orang bebas untuk merasakan cinta bahkan menyimpannya meski itu butuh waktu yang lama.